Lensaislam.com : Ketua Majelis Ulama Indonesia bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH KH Sholahuddin Al-Aiyub, angkat bicara terkait hukum pernikahan beda agama yang kembali menjadi polemik.
Dia menegaskan pernikahan berbeda agama adalah dilarang dan tidak sah di Indonesia. Menurutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait pernikahan silang tersebut sejak 2005.
“UU telah mengatur bahwa pernikahan beda agama tidak sah, baik secara hukum negara ataupun hukum agama. Fatwa MUI juga menyatakan demikian,” ujar Ayub dalam pesan tertulis, Selasa (7/3/2022). “Seharusnya aturan UU tersebut mengikat kepada semua warga di Indonesia,” tambahnya.
Menurutnya, fatwa larangan pernikahan beda agama dikeluarkan karena kondisi saat itu pun banyak sekali terjadi perkawinan beda agama. Di tambah lagi, di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan.
“Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketenteraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman,” kata dia, sebagaimana tertuang dalam fatwa MUI.
Fatwa MUI menyebutkan, bahwa “(1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.”
Fatwa ini diputuskan setelah merujuk sejumlah firman Allah SWT yaitu An Nisa ayat 3, Surat Ar Ruma ayat 21, surat At Tahrim ayat 6, surat Al Baqarah ayat 221, dan surat Al Mumtahanah ayat 10.
Selain itu, terdapat sejumlah hadits Rasulullah SAW yang menegaskan pentingnya agama sebagai unsur utama pernikahan.
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لاِرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “
Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunannya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tanganmu.” (HR Muttafaq ‘alaih dari Abi Hurairah RA)
Terdapat pula kaedah fiqih yang menyatakan tentang keharaman nikah beda agama. Yaitu antara lain ‘mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan.’ “MUI akan terus mengedukasi dan mensosialisasikan UU dan fatwa MUI tersebut,” kata Aiyub.
Bagaimana hukum positif memandang pernikahan beda agama? Pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum negara. Peraturan tersebut diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (ROL)