Jakarta, Lensa Islam.com - Terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan (TPKS) menurut Amirsyah Tambunan selaku Sekjen MUI bahwa dirinya telah mencermati pembahasan RUU tersebut telah mengalami pembahasan jilid kedua, karena pembahasan jilid pertama banyak menuai kritik sehingga pembahasannya ditunda.
Pembahasan akhir-akhir ini menurut Buya Amirsyah Tambunan terkesan pengulangan terhadap sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Padahal dalam diktum menimbang telah di jelaskan; pertama, bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat.
"Kedua, bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan hak korban," ujarnya.
Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta belum komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara;
Namun setelah dicermati terdapat sejumlah pasal yang cendrung melakukan kriminalisasi perkawinan bagi anggota masyarkat karena pasal 4 sampai pasal 19 jelas berujung pada pidana antara lain;
Pertama, pasal perkawinan anak pada pasal dipidana 9 tahun perjara. Kedua, perkawinan anak pasal 10 ayat 2 diangap sebagai pemaksaan pemaksaan perkawinan. Pemaksaan perkawinan pasal 4 termasuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan pasal 1 pengertian anak adalah yang sebelum 19 Jadi jika ada anggota menikahkan anak gadisnya yg usia 18 tahun 11 bulan, itu kriminal dan dikenai pidana 9 tahun penjara dan/atau denda 200 juta.
"Padahal soal perkawinan udah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974. Jadi kesimpulan sementara RUU TPKS terkesan melakukan kriminalisasi dalam narasi pemaksaan, kurang mengandung nilai untuk mencegah berdasar nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT," tutur Buya Amirsyah Tambunan
Atas dasar itu Sekjen MUI menolak pengesahannya karena logika hukum belum seperti yang di sebutkan dengan diktum menimbang dalam mencegah agar terhindar dari tindak pidana kekerasan seksual.