Lensaislam.com : Perang saudara antara pasukan militer dan pasukan paramiliter utama Sudan sejak Sabtu, 15 April 2023 kemarin telah menewaskan sedikitnya 200 orang dan melukai 1.800 lainnya.
Perang saudara ini pecah ketika dua faksi utama rezim militer Sudan saling berebut kekuasaan di negara itu.
Faksi Pertama: pasukan militer Sudan yang berada di bawah kekuasaan penguasa de facto, Abdel Fattah al-Burhan.
Faksi kedua: pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di bawah kendali mantan panglima perang, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang juga dikenal sebagai Hemedti.
Perebutan kekuasaan ini telah terjadi sejak sebelum pemberontakan pada 2019, yang menggulingkan pemimpin diktator Omar Al Bashir.
Setelah Bashir lengser, upaya Sudan beralih ke pemerintahan sipil yang demokratis terus mengalami hambatan. Persaingan dan kekerasan demi merebut kekuasaan tak terelakkan.
Pada Oktober 2021, terjadi kudeta yang membuat tentara kembali berkuasa, padahal saat itu transisi menuju pemerintahan demokratis sedang berjalan.
Akibatnya, proses itu terganggu dan membuat warga kembali protes hingga memperparah kondisi ekonomi negara.
Jika ditelisik lebih jauh, penyebab utama ketegangan di Sudan sebetulnya karena tuntutan masyarakat sipil untuk pengawasan militer dan integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata negara.
Warga sipil juga mendesak militer menyerahkan kepemilikan mereka di sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan industri lainnya.
Masyarakat juga menuntut keadilan atas kejahatan perang oleh militer dan sekutu dalam konflik di Darfur pada 2003 silam.
Mereka juga meminta keadilan atas pembunuhan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Juni 2019 yang melibatkan pasukan militer.
Para aktivis dan kelompok sipil tak terima dengan berbagai penundaan penyelidikan resmi.
Selain itu, mereka juga menginginkan keadilan bagi setidaknya 125 orang yang tewas oleh pasukan keamanan dalam aksi protes sejak kudeta pada 2021 lalu. ***
Indonesian Islamic News Agency (IINA)