Oleh: Samar Solehan*
Pergaulan anak-anak saat ini tidak lagi
berbatas ruang dan waktu. Mereka dapat berinteraksi dengan sesama teman, baik
secara langsung maupun hanya sekedar lewat tatap maya. Jika
dulu sebelum era
2000an anak-anak (pelajar) saling bercengkerama dan bercanda secara face to
face, maka seiring dengan berkembangnya teknologi saat ini mereka tidak
harus janjian bertemu di suatu tempat dulu agar bisa bercengkerama dan bersenda
gurau. Bahkan mereka bisa saling mengolok atau meledek dengan temannya tanpa
tatap muka secara langsung. Hal ini terjadi karena begitu banyaknya platform
yang dapat digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara maya melalui
media sosial (medsos).
Data pengguna medsos dari kalangan
pelajar bahkan begitu mencengangkan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir
2021 merilis bahwa 88,99% anak usia lima tahun keatas telah mengakses internet
untuk media sosial. Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah jumlah
pengakses medsos dari kalangan anak-anak dan pelajar menurun? Sebuah pertanyaan
retoris menurut hemat penulis.
Aktivitas siswa dalam bersosialisasi dan
berinteraksi kerap masuk sampai ke ranah perundungan. Pun demikian yang dilakukan
melalui medsos. Bebagai jenis perundungan dapat dilakukan secara siber. Baik
yang disengaja maupun tidak. Lantas apa saja jenis perundungan siber (cyberbullying)
yang mereka lakukan? Umumnya yang dilakukan berupa Flaming (menyebarkan
pesan yang penuh amarah, kasar, atau menghina secara online), Harassment
(mengirimkan pesan yang berulang-ulang untuk mengganggu atau mengintimidasi),
Cyberstalking (menguntit seseorang secara online dengan
cara melacak aktivitas mereka di internet), Denigration (menyebarkan hoax
tentang seseorang dengan tujuan merusak nama baik mereka), Impersonation
(menyamarkan diri sebagai orang lain untuk mengirim pesan yang menyinggung atau
memalukan), dan Outing and Trickery (menyebarkan informasi pribadi atau
rahasia seseorang tanpa izin)
Secara
umum korban cyberbullying mengalami gangguan pada kesehatan mental
mereka. Sebagaimana kita ketahui kesehatan
mental menurut WHO adalah
kondisi sejahtera di mana seseorang menyadari kemampuan dirinya, mampu
mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan
menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya. Nah menukil
berita pada September 2023 lalu, beredar berita bahwa ada seorang selebgram di
Probolinggo melakukan cyberbullying terhadap siswa (detik.com).
Dampaknya, korban hilang kepercayaan diri sampai ingin berhenti melaksanakan
Praktek Kerja Lapangan (PKL). Inilah salah satu contoh dampak cyberbullying.
Lantas apa dampak lain yang dialami oleh korban cyberbullying hingga
dapat mengganggu kesehatan mental mereka?
Dampak
lainnya bisa berupa: Depresi dan kecemasan (korban sering merasa sedih, cemas,
dan putus asa), masalah tidur dan makan (korban dapat mengalami kesulitan tidur
atau perubahan pola makan), kinerja akademik menurun (korban terganggu
konsentrasi dan kemampuan belajar). dampak paling fatal dari cyberbullying
adalah adanya keinginan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Upaya
mengatasi
Kita
dapat berupaya mengatasi cyberbullying dengan beberapa cara. Baik upaya
pencegahan maupun penanganan jika sudah kadung terjadi. Untuk pencegahannya kita perlu
mengedukasi siswa terkait bentuk perundungan siber, saling menghargai dan
menghormati dalam interaksi online, dan mengedukasi etika dalam
berkomunikasi secara online. Siswa juga perlu diberi pemahaman tentang
pentingnya saring sebelum sharing. Membangun rasa empati juga perlu
dilakukan agar para siswa/pelajar tidak mudah melakukan perundungan.
Sementara
jika sudah terlanjur terjadi, maka kita berikan edukasi kepada korban.
Sampaikan kepada korban untuk tetap tenang dan jangan membalas. Membalas
perundungan hanya akan memperburuk situasi. Selanjutnya arahkan supaya korban menyimpan
buktinya. Blokir pelaku di media sosial
dan platform lainnya. Sampaikan kepada korban untuk mau speak up. Kita
bisa memposisikan sebagai bestie mereka agar korban merasa nyaman untuk
bercerita. Jika sudah cukup bukti, kita bisa memediasi kedua pihak agar pelaku
dapat menghentikan aksi perundungannya. Bagaimana jika terus berlanjut? Menempuh
jalur hukum adalah Langkah terakhirnya. Langkah ini dapat dilakukan selain
untuk menghentikan aksi perundungan tapi juga sebagai efek jera.
Harapan penulis, semoga mental anak-anak kita dapat berkembang secara optimal. Hingga tidak ada lagi generasi penerus bangsa yang terganggu kesehatan mentalnya yang diakibatkan oleh apapun termasuk cyberbullying.
*Penulis adalah Guru di Sekolah Indonesia Riyadh yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa S3 Pendidikan Dasar Unesa (Universitas Negeri Surabaya)